-->

Transkrip Film Dokumenter Keindahan Alam dan Kearifan Suku Badui




Ini teh kampung Saya, kampong Gajeboh. Adanya di desa Kanekes Banten. Disinilah orang Baduy tinggal. Ya, saya orang Baduy. Nama saya Kasim.

Leluhur Baduy adalah orang yang sangat patuh sama adat. Mereka teh pantang menerima budaya modern. Ini mah ada sebabnya. Kata orang tua dulu, orang modern itu pinter-pinter, tapi, saking pintarnya, banyak yang minterin orang. Ini salah satu sebab orang Baduy menutup diri dari dunia luar. Ini aturan itu cuma berlaku buat orang baduy dalam. Baju mereka selalu Hitam putih.  Cirinya yang gak boleh lepas togek, yaitu ikat kepalanya yang juga putih.

Tempat tinggal orang baduy dalam, sekitar 8 kilo dari Kampung. Saya orang luar boleh datang, tapi di larang  motret apalagi direkam video, pantang pisan. Kalau orang kampung saya mah sudah masuk kelompok Baduy luar. Sifat kami lebih terbuka. Malahan sebagian penampilannya seperti orang kota.

Meski begitu, masih ada aturan adat yang tidak boleh kami langgar. Ini salah satu contohnya. Ini sungai Ciujung hulunya, ya di kampung kami. Kalau alirannya mah jauh sampai kota Rangkasbitung sana. Tidak  semua bagian sungai, boleh digunakan. Jadi teh tidak boleh sembarangan mandi. Ini teh usaha untuk menjaga kebersihan dan kelestarian hulu sungai.

Ada satu lagi aturan adat yang masih dipegang orang Baduy luar sampai sekarang. Yaitu soal bangunan rumah semua rumah. Semua rumah di sini berbentuk panggung. Inilah yang membuat siapapun yang ada di dalamnya merasa lebih hangat. Ya maklum, kampung kami ada di tengah hutan, udaranya masih dingin. Dan inilah paling penting, rumah orang Baduy harus menghadap Selatan. Bagi kami penganut Sunda Wiwitan, inilah kiblat kami. Jadi tempat kami berteduh, ya harus menghadap ke arah tersebut.

Salah satu mata pencaharian kami adalah membuat gula kaung. Ini mah pekerjaan saya sehari-hari. Kaung didieu teh artinya aren. Jadi gula kaung itu, yaitu gula yang dibuat dari pohon aren. Buat bikin gula, yang diambil dari pohon aren adalah air niranya. Biasanya teh air nira disadap dua kali sehari. Isuk-isuk dan sore bae. Hasil sadapan ditampung dalam bambu yang disebut lodong. Sudah dari kecil saya diajak orang tua membuat gula Kaung. Kami tidak membuat gula di rumah, melainkan di saung. Soalnya bikin gula ini butuh api yang lumayan gede. Bahaya atuh kalau di rumah, lagi pula asapnya juga bisa ganggu tetangga. Ini air nira yang tadi saya sadap, sudah digodok sampai kental. kalau udah susah di kocek, tandanya air nira siap dicetak.

Gula Kaung dari Baduy, banyak dicari orang. Katanya teh gula buatan kami tempati giung, maksudnya teh rasa manisnya pas lah, enggak manis-manis teuing.

Ini amak Sarbani, ketua kampung kami. Kami memanggilnya amat baek. Usia amak sudah setengah abad. Biar begitu, amak masih kuat pergi ladang atau leweng. Amak hampir nggak pernah sakit. Tapi kalau sakit, amak memanfaatkan hebat alam untuk sembuh. Kami juga begitu. Setiap gak enak badan, harus langsung ketemu amak, biar diobati. Obat dari amak gak kalah sakti sama obat dokter. Asalnya dari daun-daun di hutan.

Bikinnya gampang. Tinggal diracik sendiri dijamin ampuh kalau kata amak mah. Kata amak, kesehatan itu karunia Karuhun, harus dijaga. Orang Baduy percaya ada penyakit yang datangnya dari roh jahat. Di sini kami menangkalnya dengan kapuru, semacam jimat gitu. Tiap warga Gajeboh selalu memakai kapuru.

Orang Baduy luar memang masih percaya jimat. Tapi soal teknologi, kami juga menguasai. Hiyeweh, Sms-an juga kiye, iureng pang jagonya. Handphone memang barang baru di kampung gajebo. Kenalnya ya dari orang kota yang suka mampir ke kampong kami. Gaga-gara punya hp, saya jadi bisa baca. Aturan adat Baduy memang melarang kami untuk sekolah, jadi belajarnya ya dari hp ini. Kalau nulis saya the bisa. Tapi ngetik pakai HP, wih lancar itu mah.

Kami kalau siang teh pergi ke ladang. Matakna kalau siang di kampung mah sepi-sepi , bae. Kamene nyapeuting-peuting. Maksud saya malam-malam kayak gini biar gak ada listrik suasana kampung ini waktunya kami warga kampung kumpul-kumpul dengan tetangga di sini namanya ngawangkong.

Uring biasa Ngawangkong jigakie, bisa sekalian kumpul keluarga. Kalo ada pendatang ikut ngawangkong, pasti kaget, soal na mah bahasa Sunda yang dipakai teh Sunda Buhun, ada rada kasar. Beda sama sunda priyangan yang lembut tutur katanya.

Adat teh orang Gajebo para perempuan harus menyediakan makanan untuk para pria. Kalau di rumah, saya yang kebagian tugas masak. Dapur kami mah kecil bae. Adanya di dalam rumah. Tungku buat masak dibuat diatas tanah liat. Ada kepercayaan orang tua, katanya tapi itu tidak boleh kena tanah langsung. Karena alamnya bisa murka tersakiti.

Bau ikan asin kayak gini yang selalu bikin lapar. Ikan asin adalah makanan favorit kami. Soalnya ini yang paling awet disimpan. Maklum kampun gajiboh letaknya jauh dari mana-mana. Jadi ya harus pintar-pintar mengatur persediaan makanan.

Prinsip sederhana teh memang jadi prinsip kuat dalam diri kami orang Baduy. Misalnya dalam penggunaan padi hasil panen. Orang Baduy mah pasti punya luit atau lumbung padi cenah kata orang pertama, gunanya teh untuk menyimpan hasil panen. Rata-rata Lui teh menyimpan padi yang umurnya udah puluhan tahun. Saking banyaknya timbunan biru dihasilkan dari panen ke panen. Padi dipakai tidak boleh sembarangan. Kalau ada acara khusus aja misalnya acara adat kawinan atau adat Baduy.

Hari ini jadwal saya turun ke kota. Tempat yang saya tuju pasar subuh Rangkasbitung. Saya sering ke Rangkas. Namanya ge pasar subuh, jadi ramena ya subuh. Ngumpul jam 5 subuh sampai jam 8 pagi biasanah. Udah gitu ya bubar. Yang datang campur aduk. Dari tukang sayur sampai ukang ikan. Kadang saya kaliyer lihatna.

Saya mau jualan gula kaung yang saya bikin di kampong. Kalau dulu jual gula teh suka ditukar dengan barang lain. Tapi sekarang mah uang udah jadi alat tukar gampang oge, termasuk kami orang Baduy luar.

Suasana pagi di kota mah banyak pisan. Kalau pagi di kampung saya, ramenya sungai Ciujung. Kalau di Rangkas, stasiun ini tempat paling ramai, stasiun Kota Rangkasbitung. Katanya mah ini stasiun paling besar di Provinsi Banten. Pantes aja keretanya juga sering lewat.

Aku pernah naik kereta lima kali ke Jakarta. Cepet pisan.

Ada yang cerita sama saya, stasiun ini teh dulu dibuat cuma buat orang Belanda. Dipakainya sama kalangan bangsawan yang kerja di Kota Rangkas. Kalau sekarang mah semua kalangan boleh naik, termasuk saya. Kalau ke kota, ada satu yang selalu saya cari, tahu. Ini teh salah satu makanan yang lumayan saya suka. Soalnya mah di kampung jarang ada, enak pisan.

Ini tahu Muhara, juaranya tahu di kota Rangkasbitung. Asalnya ya dari kampung Muhara. Orang Baduy sama orang Muhara punya kemiripan, habis sama-sama tinggal di pinggir sungai Ciujung. Bedanya, kami di hulu, Muhara di hilir. Kalau di Baduy saya bikin gula kaum, orang Muhara bikin tahunya kayak gini. Tempat memang beda keahlian. Yang di atas yang maha Adil.

Berkat orang Muhara, saya jadi bisa makan tahu. Tapi tetap ah, saya mah mau pulang kampung aja. Suasananya masih tenang. Udaranya juga bersih. Lieur saya mah kalau lama-lama di kota.

Boleh saja orang bilang, kami kuno ketinggalan zaman tentang arti teknologi. Tapi buat kami itu pilihan. Pilihan untuk hidup berdekatan dengan alam. Pilihan untuk menjadi penjaga sungai dan hutan. Itu yang membuat kami beda. Dan itu yang membuat kami kaya. Saya mah bangga.

Download berkas transkrip 

Judul Film         :     Indonesia Bagus - Keindahan Alam dan Kearifan Suku Badui
Sumber link      :     https://youtu.be/O9tLEJCalxg
Channel             :     Netmediatama
Dipublikasikan  :    tanggal 30 Jun 2013
Keterangan     :     Program feature dokumenter yang tidak hanya menampilkan keindahan alam Indonesia tetapi juga keunikan kehidupan berbudayanya. Program ini menampilkan penduduk asli daerah tersebut sebagai narator sekaligus pembawa cerita
 Durasi film      :     22.16 menit


Transkriber: Suhadi (Guru SMA Negeri 1 Pamotan) 


0 Response to "Transkrip Film Dokumenter Keindahan Alam dan Kearifan Suku Badui"

Posting Komentar

Iklan Bawah Artikel