-->

Produksi POC Berbasis Keluarga




www.mgmpsosiologijateng.com - Tulisan ini bertujuan sumbang saran atas/ terhadap pengendalian sampah rumah tangga dengan pendekatan rekayasa sosial di tingkat keluarga. (jika) Selama ini Pemerintahlah dipandang menjadi penanggung dan penjawab atas segala urusan dan tetek bengek tentang sampah. Dalam tulisan ini, Pemerintah tidak diposisikan demikian, dan tulisan ini juga tidak mencari pengganti atas siapa yang bertanggung-jawab atas pengendalian sampah. Melalui pendekatan rekayasa sosial, sampah (non-plastik) menjadi bahan berharga, bukan lagi menjadi bahan buangan yang harus dibawa truk ke tempat pembuangan akhir. Adalah produksi POC berbasis keluarga, menjadi semacam gerakan sosialnya. Berikut ulasan singkatnya.

Anggap saja semua sepakat bahwa sampah termasuk salah satu pemicu terjadinya masalah sosial kompleks hingga saat ini. Salah urus sampah, bisa jadi petaka lingkungan sosial. Pencemaran disana sini, udara tak lagi sehat, lingkungan penuh bakteri jahat, air terkontaminasi, banjir, tanah tandus, hingga kemudian berdampak terenggut nya rasa aman. Bahkan ketidakadilan sosial menjadi tumbuh subur gara-gara sampah dipusatkan pada sebuah kawasan pinggiran. Kawasan yang diperankan dalam lakon struktur yang bingung mengendalikan sampah dikemudian.

POC yang dimaksud dalam tulisan ini adalah Pupuk Organik Cair. Selanjutnya berbasis keluarga yang dimaksud adalah ragam kegiatan ekonomi hingga bahan dari sisa proses masak dan masakan keluarga, sekaligus keluarga selaku kelompok sosial yang berperan aktif dalam produksi POC beserta turunan kegunaannya.

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang tiap harinya melakukan aktivitas konsumsi makanan dan minuman. Entah dari proses memasak sendiri atau fastfood, setiap aktivitas  dalam asupan gizi anggota keluarganya, terdapat sisa-sisa. Dari tindakan mencukupi asupan gizi inilah, ragam sisanya tertumpuk. Dan tumpukan sisa tersebut biasanya mangkrak di tong sampah yang menanti empati pahlawan pengendali sampah. Hingga kemudian sampah-sampah itu menggunung tak bertuan di tempat pembuangan akhir.

Memang ada fungsi dari substruktur yang menggantungkan nasibnya di gunung sampah tersebut. Mulai dari petugas pemungut sampah, jasa transportasi sampah, sopir truk sampah, sopir bego, hewan pengais pakan sampah, warung dekat sampah, peneliti sampah, dan seabrek mata pencaharian sampah lainnya. Hanya saja, apakah kita akan selalu sepakat mempertahankan mata kerja saudara-saudara kita yang rentan dengan polutan, padahal mereka juga berhak mendapatkan mata kail ekonomi yang rendah resiko. Apalagi tanah kita subur, tuan.

Selain pertimbangan keadilan sosial dalam akses kerja yang layak dan mulia, sistem pengendalian sampah yang dinahkodai pemerintah ini, rentan dengan anggaran, dan menurunkan resiko ancaman kesehatan manusia serta ekologi yang terlibat dalam carut manut manajemen persampahan.

Berapa anggaran Negera yang digelontorkan tiap tahunnya alih-alih untuk menjaga kebersihan lingkungan kita? Berapa orang yang tiap tahunnya terpapar sakit karena lingkungan kumuh akibat campuran sampah yang tidak jelas alur dan kelaminnya? Dan yang perlu dipertimbangkan pula, apakah kita akan selalu setuju untuk meninabubukkan mimpi anak-anak (pemulung) yang involutif begitu saja.

Jikapun ragam bantahan itu mangkir dalam edukasi empati kita, setidaknya masih ada jalan damai dalam menyelesaikan gunungan sampah yang setiap saat menanti jungkur menggandeng petaka. Jalan damai itu adalah rekayasa sosial produksi POC berbasis keluarga.

Jejak kearifan hidup yang aman, selamat, dan seimbang dengan alam, kita yakini sejak lama telah berlangsung. Jejak lama itu dapat kita lihat pada keluarga petani perdesaan. Ragam sisa masakan dan aktivitas pencukupan gizi dimanfaat untuk pakan ternak mereka. Bahkan, seekor kucing secara pasti dapat menggantungkan jatah pakannya dari itu. Namun seiring dengan gaya hidup yang instan, manja, perubahan tata ruang, teknologi kulkas, reposisi petani menjadi buruh pabrik, dan respon struktur pemerintah dalam jasa dan layanan yang kompleks, telah merubah semuanya.

Pluruhan tak lagi di belakang rumah kita. Pluruhan itu menjelma di depan serambi rumah kita. Kearifan yang ramah dan sistemik itu hilang direnggut oleh ruang dan waktu. Tetapi setidaknya kita pernah punya memori praktik baik. Dan kalau itu kita bangkitkan, sungguh akan menjadi modal sosial yang jauh lebih efektif dan bermakna.

Telah ada gerakan sosial dalam merespon masalah persampahan, yaitu bank sampah. Model ini juga terbukti telah menjadi gaya empati vital di media visual. Hanya saja model ini masih bersifat simultan, terbatas kewilayahan, dan terkadang terjebak pada formalitas dan adu panggung depan belakang.  Terlebih dengan hadirnya teknologi tepat guna yang berjimbun dari lembaga pengabdian kampus dan NGO. Namun dari semua itu, tidak gratis kawan. Jika memang masih ada gerakan sosial yang mampu menggerakkan pada episentrum, mengapa tidak.

Berbahagialah kita, karena dipertemukan dengan pemulia tanaman yang menggunakan pupuk organik cair dalam merawat tanaman. Tidak sulit kita mendapat informasi teknik produksi pembuatan pupuk organik cair. Dengan mudah, cukup ketik POC tanaman, ragam teknik produksi POC kita dapatkan.

Beberapa informasi mainstream POC mengabarkan, bahwa bahan POC berasal dari aktivitas memasak dan mencukupi asupan gizi kita. Dapur dan meja makan adalah pusat penyumbang sampah yang selalu berakhir menggunung. Jika dapur dan meja makan adalah pusatnya, mengapa kita tidak bergerak dari sekarang untuk memproduksi POC di rumah-rumah kita? Mulai dari mana kalau kita melakukan rekayasa tersebut?

Adalah ketergantungan menjadi biang kerok  rendahnya mental kita. Dan adalah fungsi semu yang mendukung robohnya kearifan kita.

Mungkin kita terlena ditidurkan dengan budaya konsumtif dan dilayani. Tetapi sebenarnya kita terancam dengan tercerabutnya kearifan dalam mengendalikan sisa masak dan makan rumah tangga. Melalui uang, ragam barang, bahan,  dan aksesoris mudah terdapatkan. Dan ternyata kita setuju bahwa sebagian besar pendapatan harus dibelanjakan. Habis cari lagi. Cara berfikir sistem pasar dan konsumsi telah menjadi pengendali. Padahal kalau kita pandai memutar sedikit  arus deras itu, mental kita akan lebih berdaulat, bukan tergantung dan menggantungkan diri.

Memutus rantai ketergantungan ini tentu saja tidak semata wayang dalam mempertahan prestis dan previlage. Memutus mata gantung ini juga menjadi daya resistensi yang harus kita pupuk dalam melawan masa depan yang kelam. Bagaimana kita akan menjadi bangsa yang besar, bagaimana kita akan menjadi manusia bumi yang penuh manfaat, dan bagaimana kita dapat melesat ke langit dimasa kekal nanti, jika kita tidak berdaya dalam mengurus asa daulat ini.

Sama halnya dengan kasus mengelola sampah sisa keluarga. Tindakan mandiri ini sebenarnya tidak ribet-ribet amat. Amat aja ngak ribet, hehehe.... Pengetahuan kita sebenarnya telah menjangkau bahwa sampah sisa rumah tangga itu dapat dijadikan barang yang bermanfaat, yaitu adalah pupuk. Cukup siapkan ember besar, masukkan sisa bahan masakan dan siswa makan, masukkan air, lalu tunggu setengah hingga sebulan, maka jadilah pupuk organik cair. Namun kenapa itu ngak kita lakukan? Kita malah bangga dengan membayar retribusi sampah. Kita malah bangga bisa membeli pupuk pabrikan yang beresiko tinggi, dan kenapa kita memandang nilai edukasi yang berharga dari proses memproduksi pupuk organik cair untuk anak cucu kita nanti, masih sebelah mata.

Menggerakkan anggota keluarga dengan aktivitas produktif di waktu jeda, mungkin menjadi pilihan ketika banyak waktu kita terenggut dengan game online dan medsos kabar selebrita. Atau kita padukan dengan memanfaatkan ruang medsos untuk ruang simpan dokumentasi kegiatan keluarga.

Karakter ibu yang telaten dapat dijadikan pintu masuk dalam membuat pupuk organik cair. Karakter bapak yang teladan, dapat dijadikan aneka contoh tindakan mulia membuat pupuk organik cair untuk anggota keluarga. Dan karakter anak yang ingin mencoba dan mencoba, dapat dijadikan media belajar dengan membuat pupuk organik cair.

Tentu saja ini butuh waktu dalam mentradisikan tindakan ramah lingkungan. Titik temu semua itu adalah dengan memandang bahwa kegiatan memproduksi POC adalah kegiatan edukasi. Dan orang tua-lah yang berkepentingan dalam mendidik dan memberi teladan, agar anak-anaknya menjadi generasi yang cerdas, kreatif, kritis, serta produktif, bukan bermental peminta dan tergantung dengan ruang dan waktu.

Tatkala rekayasa sosial telah berlangsung demikian, maka langkah selanjutnya adalah tindakan responsif Pemerintah dalam mengurangi skenario pengendalian sampah. Untuk pemerintah, gerakan produksi pupuk organik cair bukan lah semata-mata tindakan strategi hidup warga negara dalam mengatasi kemandirian sayur dan bunga. Sungguh naif jika demikian terjadi. Bahwa gerakan produksi POC berbasis keluarga adalah rekayasa sosial berskala besar dalam program pengendalian sampah. Gerakan produksi POC ini sedapat mungkin langsung direspon semisal dengan meluncurkan program keluarga menanam sayur dengan POC. Respon ini tentu saja cukup penting, karena didalamnya berfungsi mampu mengendalikan sampah. Melalui produksi POC, sampah akan berkurang, lingkungan tercemar sampah rumah tangga menurun,  hingga pemerintah dapat memangkas anggaran untuk pengendalian sampah. Pos aggaran yang ada, dapat digunakan untuk pemberdayaan rumah tangga dan pemberdayaan terhadap kelompok sosial terdampak.

Penulis: Suhadi, guru sosiologi di SMA Negeri 1 Pamotan, Rembang, Jawa Tengah.



0 Response to "Produksi POC Berbasis Keluarga"

Posting Komentar

Iklan Bawah Artikel