-->

Keluarga sebagai Rumah Demokrasi Anak: Pandemi Covid-19 Kesempatan Emas Keluarga Kembangkan Budaya Demokrasi Lebih Dalam


Penulis: Khoriskiya Novita, S.Pd. (khoriskiyanovita@gmail.com) 

Guru Sosiologi SMA Al Fusha Kedungwuni Pekalongan

 

Keluarga merupakan komunitas primer yang terpenting dalam masyarakat. Komunitas primer artinya suatu kelompok dengan kedekatan antara anggota-anggotanya sangat erat.[1] Secara historis keluarga terbentuk dari satuan yang merupakan organisasi terbatas dan mempunyai ukuran yang minimum, terutama pada pihak-pihak yang awalnya mengadakan suatu ikatan. Ia merupakan bagian dari masyarakat yang berintegrasi dan mempunyai peran dalam suatu proses organisasi kemasyarakatan. Pada masa pandemi seperti ini, intensitas kedekatan keluarga jauh lebih banyak dibandingkan sebelum adanya wabah Covid-19 muncul. Keluarga memegang kendali yang lebih ekstra daripada biasanya. Keluarga pula yang akan mengontrol secara langsung segala proses belajar anak di rumah sejak pembelajaran tatap muka di sekolah dihentikan.

Keluarga merupakan satu-satunya lembaga sosial yang diberi tanggung jawab untuk mengubah organisme biologi menjadi manusia, sehingga dapat memberikan sebuah persamaan, bahwa untuk mengubah organisme biologis menjadi organisme sosiologis membutuhkan keluarga sebagai agen  tempat mengenal dan mempelajari  prototype  peran  tingkah laku yang dikehendaki dan  modus orientasi penyesuaian diri dengan yang dikehendaki dan modus orientasi penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya.

Begitu dekatnya peran atau hubungan yang dirasakan anak dengan keluarganya, membuat keluarga menjadi satu-satunya institusi sosial yang relatif permanen dalam menjalankan fungsi sosialnya. Hal ini dimungkinkan karena keluarga dibentuk dari ikatan emosional (dorongan yang paling kuat dari sifat organis manusia untuk saling memilih satu dengan yang lainnya) antara anggotanya.

Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan sosial. Manusia pertama kali memperhatikan keinginan orang lain. Belajar, bekerja sama dan belajar membantu orang lain dalam keluarga. Pengalaman berinteraksi dalam keluarga akan menentukan tingkah laku dalam kehidupan sosial di luar keluarga. Kerena fungsi keluarga itulah kemudian penulis ingin mengkaji bagaimana sikap demokratis dikembangkan di dalam lingkungan keluarga sebagai tempat atau rumah sosialisasi primer pada anak khususnya pada masa pandemi Covid-19. Keluarga menjadi tempat yang sangat mendukung dan masa pandemi seperti ini menjadi kesempatan emas keluarga untuk mengembangkan budaya demokrasi pada anak.


A.  Fungsi Keluarga dan Interaksi Sosial dalam Keluarga 

1)    Fungsi Keluarga

Setiap keluarga  menginginkan kelangsungan suatu generasi yang baru  dalam rumah tangga  yang dapat memperoleh nilai-nilai dan norma-norma yang sesuai dengan harapan masyarakat. Dengan kata lain keluarga merupakan mediator dari nilai-nilai sosial. Margaret Meat menjelaskan bahwa keluarga adalah lembaga paling kuat daya tahannya yang harus dimiliki, oleh kerena setiap orang dilahirkan dalam keluarga maka hal-hal yang dekat dan sangat dikenal oleh setiap orang biasanya tidak luput pengamatan yang kritis, sehingga sangat sulit untuk mengenali ketidak wajaran di dalamnya, [2] diperlukan usaha ilmiah untuk dapat mengangkat permasalahan yang selama ini tidak terungkap, agar dapat dikenali dan ditata kembali. Hal ini penting mengingat setiap keluarga berfungsi sebagai pengantar pada masyarakat besar, dan penghubung pribadi-pribadi dengan struktur sosial yang lebih besar. Kekuatan sosial yang dimiliki oleh keluarga merupakan aspek yang tidak dapat ditemukan pada lembaga lainnya, yaitu kemampuan mengendalikan individu secara terus menerus.

Menurut Parsons bahwa terdapat dua fungsi keluarga yang esensial yakni  pertama keluarga sebagai tempat sosialisasi yang utama bagi anak-anak dan tempat mereka dilahirkan dan kedua tempat stabilitas kepribadian remaja atau orang dewasa.[3] Berkaitan dengan itu Koentjaraningrat berpendapat bahwa fungsi pokok keluarga inti adalah individu memperoleh bantuan utama berupa keamanan dan pengasuhan karena individu belum berdaya menghadapi lingkungan.  Berdasarkan pada pandangan ini dapat difahami bahwa keluarga merupakan salah satu agen sosialisasi yang paling penting dalam mengajarkan anggota-anggotanya mengenai aturan-aturan yang diharapkan oleh masyarakat.[4]

Fungsi-fungsi keluarga yang dilakukan dengan baik akan memberikan hal yang positif bagi perkembangan individu di dalamnya dan pada gilirannya memberikan kontribusi bagi kehidupan lingkungan sosialnya. Keluarga mempunyai fungsi-fungsi pokok yakni fungsi yang sulit diubah dan digantikan oleh orang lain, sedangkan fungsi-fungsi lain atau fungsi sosial,  relatif lebih mudah berubah atau mengalami perubahan.

Berdasarkan uraian di atas bahwa fungsi keluarga itu terdiri atas dua pokok yaitu: pertama, fungsi dari keluarga inti tidaklah hanya merupakan kesatuan biologis, tetapi juga merupakan bagian dari hidup bermasyarakat. Disini keluarga bukan hanya bertugas memelihara anak, tetapi berfungsi untuk membentuk ide dan sikap sosial. Dan kedua bahwa keluarga itu mempunyai kewajiban untuk meletakkan dasar-dasar pendidikan, rasa keagamaan, kemauan, kesukaan, keindahan, kecakapan berekonomi dan pengetahuan perniagaan. Jika dilihat dari sudut pandang kebutuhan keluarga, maka fungsi keluarga adalah pemenuhan kebutuhan biologis, wadah emosional atau perasaan, pendidikan sosialisasi, ekonomi dan pemuasan sosial.

2)   Interaksi Sosial dalam Keluarga 

Interaksi sosial menurut Bonner adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah  atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya. Artinya individu yang satu dapat menyesuaikan diri  secara autoplastis kepada individu yang lain, dan individu yang satu dapat juga menyesuaikan diri secara aloplastis, dimana individu yang lain itulah yang dipengaruhi oleh dirinya yang pertama. Dengan demikian hubungan antara individu yang berinteraksi senantiasa merupakan hubungan timbal balik, saling pengaruh timbal  balik. Kelangsungan interaksi sosial ini, sekalipun dalam bentuk yang sangat sederhana, ternyata merupakan proses yang kompleks dan faktor dasar yang menentukan terbentuknya keluarga dan masyarakat yang sejahtera.

Keluarga menjadi kelompok sosial utama tempat anak atau anggota keluarga belajar manjadi manusia sosial. Rumah tangga menjadi tempat pertama dalam perkembangan segi-segi sosialnya, dan dalam interaksi dibangun dengan wajar, ia pun memperoleh bekal yang memungkinkan untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna kelak. Apabila hubungan dalam keluarga kurang baik maka besar kemungkinan interaksi sosial pun tidak berlangsung   secara   baik, sehingga   kemungkinan   terjadinya    konflik dalam keluarga sangat besar. 

Keluarga memegang peran penting dalam menjalanakan fungsi sosialisasi pada anak. Dalam perspektif sosiologi, peran orang tua sebagai pengendali keluarga merupakan kewajiban sebagai peran sosial orang tua. Terutama dikaitkan dengan upaya membentuk keperibadian anak yang diterima dan tidak sampai menjadikan anak tidak bersikap dan berperilaku yang tidak diterima lingkungan sosialnya.

Fungsi-fungsi keluarga yang dilakukan dengan baik akan memberikan hal yang positif bagi perkembangan individu di dalamnya dan pada gilirannya memberikan kontribusi bagi kehidupan lingkungan sosialnya. Keluarga yang mempunyai fungsi-fungsi pokok yakni fungsi yang sulit diubah dan digantikan oleh orang lain, sedangkan fungsi-fungsi lain atau fungsi sosial,  relatif lebih mudah berubah atau mengalami perubahan.


B.  Memahami Pola Asuh Anak di dalam Keluarga

Pada zaman ini menuntut manusia tidak hanya cerdas dalam intelektual namun juga berkarakter. Sebab karakter sebagai kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan penggerak, dan kepribadian khusus yang membedakan dengan individu lain. Adapaun terbentuknya suatu karakter tidak mudah untuk dikembangkan, memerlukan proses yang relatif lama dan terus-menerus. Karakter seseorang dibentuk melalui pendidikan karakter. Pendidikan karakter yang utama dan pertama kali bagi anak adalah lingkungan keluarga, seorang anak akan mempelajari dasar-dasar perilaku yang penting bagi kehidupannya kemudian. Karakter dipelajari anak melalui model para anggota keluarga yang ada di sekitar terutama orang tua.

Model perilaku orang tua cara tidak langsung maupun tidak langsung akan ditiru oleh anak. Orang tua sebagai lingkungan terdekat yang selalu mengitarinya dan sekaligus menjadi figur idola anak yang paling dekat. Bila anak melihat kebiasaan baik dari orang tuanya maka dengan cepat mencontohnya, demikian sebaliknya bila orang tua berperilaku buruk maka akan ditiru perilakunya oleh anak-anak. Anak meniru bagaimana orang tua bersikap, betutur kata, mengekspresikan harapan, tuntunan, dan kritikan satu sama lain, menanggapi dan memecahkan masalah, dan mengungkapkan perasaan dan emosinya. Model perilaku yang baik akan membawa dampak baik bagi perkembangan anak demikian juga sebaliknya.

Selain dalam berperilaku anak juga akan mudah meniru orang tuanya dalam hal berkomunikasi. Di dalam berkomunikasi pada anak sebaiknya tidak mengancam dan menghakimi tetapi dengan perkataan yang mengasihi atau memberi motivasi supaya anak mencapai keberhasilan dalam pembentukan karakter anak. Adapun salah satu upaya yang dilakukan untuk membentuk karakter yang baik yakni dengan pendampingan orang tua yang berbentuk pola asuh. Hendaknya orang tua mempersiapkan dengan pengetahuan untuk menemukan pola asuh yang tepat di dalam hal mendidik anak.

Oleh karena itu sebagai orang tua sebaiknya lebih paham dahulu akan makna dari pola asuh. Bahwa pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap. Sedangkan kata asuh memiliki arti menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu, melatih, sebagainya) dan memimpin (mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau lembaga.

Namun pandangan para ahli psikologi dan sosiologi berkata lain. Pola asuh dalam pandangan Singgah D Gunarsa sebagai gambaran yang dipakai orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dan rasa tanggung jawab kedapa anak. Tetapi ahli lain memberikan pandangan lain, seperti Sam Vaknim (2009) mengutarakan bahwa pola asuh sebagai “parenting is interaction between parent’s and children during their care”.

Jadi, dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua adalah suatu keseluruhan interaksi orang tua dan anak, dimana orang tua yang memberikan dorongan bagi anak dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan, dan nilai-nilai yang dianggap paling tepat bagi orang tua agar bisa mandiri, tumbuh, serta berkembang secara hehat dan optimal, memiliki sifat rasa ingin tahu, bersahabat, dan berorientasi untuk sukses.

 

C.  Pola Asuh Pembentuk Kepribadian Anak

Dalam pandangan Baumrind (Maccoby, 1980) bahwa pola asuh orang tua memiliki peran kontrol yang mengharapkan dan menuntut kematangan serta perilaku yang bertanggungjawab dari anak, yaitu:

1.    Pembatasan (Restrictiveness). Pembatasan sebagai pencegahan yang ingin dilakukan anak. Adapun keadaan ini ditandai dengan banyaknya larangan yang dikenakan pada anak. Orang tua cenderung memberikan batasan-batasan terhadap tingkah laku atau kegiatan anak tanpa disertai penjelasan mengenai apa yang tidak boleh dilakukan, sehingga anak dapat menilainya sebagai penolakan orang tua atau pencerminan bahwa orang tua tidak mencintainya.

2.    Tuntutan (Demandingeness). Adanya tuntutan berarti orang tua mengharapkan dan berusaha agar anak tidak memenuhi standar tingkah laku, sikap dan tanggungjawab sosial yang tinggi atau yang telah ditetapkan. Tuntutan yang diberikan oleh orang tua akan bervariasi, tergantung akan sejauh mana orang tua menjaga, mengawasi atau berusaha memenuhi tuntutan tersebut.

3.    Sikap Ketat (Strictness). Aspek ini berhubungan dengan sikap orang tua yang ketat dan tegas menjaga anak agar selalu mematuhi aturan dan tuntutan yang diberikan. Orang tua tidak menginginkan anaknya membantah atau tidak menghendaki keberatan-keberatan yang diajukan anak terhadap peraturan-peraturan yang telah ditentukan.

4.    Kekuasaan yang Sewenang-wenang (Arbitary Exercise of Power). Orang tua yang menggunakan kekuasaan yang sewenang-wenang, memiliki kontrol yang tinggi dalam menegakkan aturan-aturan dan batasanbatasan. Orangtua merasa berhak menggunakan hukuman bila tingkah laku anak tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hukuman yang diberikan juga tanpa disertai dengan penjelasan mengenai letak kesalahan anak. Adapun akibatnya orangtua yang menerapkan kekuasaan yang sewenang-wenang, maka anak akan memiliki kelemahan dalam mengadakan hubungan yang positif dengan teman sebayanya, kurang mandiri, dan menarik diri.

 

D.  Pola Asuh Mengajarkan Pendidikan Demokrasi pada Anak

Pendidikan demokrasi perlu diajarkan sejak dini. Pun pengajarannya tidak perlu melalui pendidikan formal. Pendidikan demokrasi bisa ditularkan dalam kehidupan sehari-hari di rumah. Prinsip utama demokrasi, menghargai dan menghormati perbedaan. Prinsip itu harus menjadi bagian karakter anak. Berikut merupakan cara untuk mengajarkan pendidikan demokrasi anak di dalam keluarga:

1.    Mengajak anak menghargai perbedaan. Anak harus memahami perbedaan bukan berarti memiliki kesalahan. Orang tua dapat mengajarkan anak menyikapi perbedaan dengan tenang dan lapang. Orang tua dapat memberitahu anak bahwa mendengarkan teman bicara adalah hal baik, saat mereka bertemu teman gemar berbicara. Pun orang tua harus memberi pujian saat anak senang mendengarkan temannya berbicara. 

2.    Mengajarkan tanggungjawab. Sikap ini dapat diajarkan dengan memberi tugas ringan pada anak, seperti, merapikan mainan. Pengajaran itu membuat anak paham, setiap tindakannya memiliki konskuensi tanggung jawab.

3.    Tidak menghakimi. Orang tua harus mulai mengajarkan, setiap orang tidak boleh menghakimi dan menilai orang lain hanya dari satu sisi. orang tua dapat mencontohkan bagaimana berbagi tanpa memandang bulu.

4.    Memberikan contoh. Anak adalah sosok paling mudah menerima pelajaran dari melihat, mendengar, dan merasakan. Keluarga adalah lingkungan sangat berpengaruh memberikan pendidikan demokrasi pada anak. Orang tua sejak dini dapat memberikan teladan yang baik bagi anak. Misalnya, di dalam keluarga mengharuskan untuk tidak membuat janji-janji. Bahwa janji yang dibuat kepada anak-anak atau istri harus dipenuhi karena kalau tidak dianggap tidak jujur lagi dan mendidik anak menjadi tidak jujur. Lebih baik mengatakan tidak ada atau tidak bisa daripada mengatakan janji namun tidak ditepati. Karena hal tersebut dapat tertular kepada anak-anak ketika dalam pergaulan bersama teman-temannya. Apa yang diberikan adalah sesuatu yang benar-benar berasal dari kemampuan yang ada dan bukan janji.


Jadi, pola asuh demokratis (authoritative parenting) adalah pola asuh orangtua yang menerapkan perlakuan kepada anak dalam rangka membentuk kepribadian anak dengan cara memprioritaskan kepentingan anak yang bersifat rasional atau pemikiran-pemikiran. Pada pola asuh demokratis kedudukan orangtua dan anak sejajar. Suatu keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah pihak. Anak diberi kebebasan yang bertanggungjawab, artinya apa yang dilakukan oleh anak tetap harus di bawah pengawasan orangtua dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral. Orangtua dan anak tidak dapat berbuat semena-mena. Anak diberi kepercayaan dan dilatih untuk mempertangguang jawabkan segala tindakannya. Akibat positif dari pola asuh ini, anak akan menjadi seorang individu yang mempercayai orang lain, bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakannya, tidak munafik, jujur. Namun akibat negatif, anak akan cenderung merongrong kewibawaan otoritas orangtua, kalau segala sesuatu harus dipertimbangkan anak dan orangtua.


Pola asuh demokratis mempunyai ciri-ciri, yaitu:

1.      Anak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan kontrol internal. Misalnya orangtua memberi kesempatan anak untuk dapat menyelesaikan masalahnya sendiri dan juga bagaimana anak dapat mengontrol dirinya sendiri untuk menyelesaikan masalah tersebut. Anak diakui sebagai pribadi oleh orangtua dan turut dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Orangtua menganggap anak sebagai pribadi yang patut didengar, dihargai, dan diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya.

2.      Menetapkan pertaturan serta mengatur kehidupan anak. Saat orangtua menggunakan hukuman fisik, dan diberikan jika terbukti anak secara sadar menolak melakukan apa yang telah disetujui bersama, sehingga lebih bersikap edukatif.

3.      Memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orangtua mementingkan apa yang menjadi kebutuhan anaknya, tetapi orangtua masih tetap memberikan kontrol atau pengawasan.

4.      Bersikap realistis   terhadap kemampuan  anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak.

5.      Memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan.

6.      Pendekatannya kepada anak bersifat hangat. Disini komunikasi antara orangtua dan anak bersifat dua arah, sehingga antara orangtua dan anak ada sikap saling terbuka dengan satu dan lainnya.


Pola asuh demokratis menerapkan pola asuhannya dengan aspek-aspek, sebagai berikut:

1.      Orangtua bersifat acceptance dan mengontrol tinggi. Orangtua mendukung apa yang dilakukan oleh anak tetapi orangtua masih memberikan kontrol. Orangtua bersikap responsive terhadap kebutuhan anak. Disini orangtua peka terhadap apa yang menjadi kebutuhan anak dan orangtua berusaha untuk mewujudkannya apabila hal tersebut mempengaruhi perkembangan anak.

2.      Orangtua mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan. Pola komunikasi kepada anak bersifat dua arah, pendapat atau pernyataan anak masih jadi pertimbangan orangtua untuk mengambil keputusan.

3.      Orangtua memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan yang buruk.

4.      Orangtua bersikap realistis terhadap kemampuan anak. Disini orangtua tidak memaksakan kemampuan anak, orangtua cenderung menghargai apa yang dilakukan anak dan keinginan anak.

5.      Orangtua   memberikan kebebasan kepada anak  untuk memilih dan  melakukan suatu tindakan.

6.      Orangtua menjadikan dirinya sebagai model panutan bagi anak.

7.      Orangtua hangat dan berupaya membimbing anak.

8.      Orangtua melibatkan anak dalam membuat keputusan.

9.      Orangtua berwenang untuk mengambil keputusan akhir dalam keluarga dan, Orangtua menghargai disiplin anak.

Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan sosial. Manusia pertama kali memperhatikan keinginan orang lain. Belajar, bekerja sama dan belajar membantu orang lain dalam keluarga. Pengalaman berinteraksi dalam keluarga akan menentukan tingkah laku dalam kehidupan sosial di luar keluarga. Pada masa pandemi seperti ini, intensitas kedekatan keluarga jauh lebih banyak dibandingkan sebelum adanya wabah Covid-19 muncul. Keluarga memegang kendali yang lebih ekstra daripada biasanya. Keluarga pula yang akan mengontrol secara langsung segala proses belajar anak di rumah.

Melalui pola asuh demokratis dapat membentuk perilaku anak di dalam keluarga seperti, memiliki rasa percaya diri, bersikap bersahabat, mampu mengendalikan diri (self control), bersikap sopan, mampu bekerjasama, memiliki rasa ingin tahunya yang tinggi, mempunyai tujuan atau arah hidup yang jelas, berorientasi terhadap prestasi. Jadi, sikap demokratis dikembangkan di dalam lingkungan keluarga sebagai tempat atau rumah sosialisasi primer pada anak yang paling dasar, serta tempat terbaik sebagai bekal penentu kepribadian anak yang berkarakter.


DAFTAR PUSTAKA

 

Gunarsa, S. & Gunarsa, Y.S. 2006. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: PT BPK Guning Mulia.

Ihromi,T.O. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Koentjaraningrat. 1983.  Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Mansyur, Cholil. M. 1977.   Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa.  Surabaya: Usaha Nasional.

Parsons, Talcott. 1951.    The Social System.  New York:  Free Press.

Tridhonanto, Al. & Beranda Agency. 2014. Mengembangkan Pola Asuh Demokratis. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.




[1] M Cholil Mansyur,  Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, (Surabaya: Usaha Nasional, 1977), h.23   

[2] Ihromi, Bunga Rampai  Sosiologi Keluarga, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1999),  h.  20

[3] Talcott Parsons,  The Social System,  ( New York:  Free Press, 1951), h.

[4] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru 1983), h. 55


0 Response to "Keluarga sebagai Rumah Demokrasi Anak: Pandemi Covid-19 Kesempatan Emas Keluarga Kembangkan Budaya Demokrasi Lebih Dalam"

Posting Komentar

Iklan Bawah Artikel