-->

Review Film Dokumenter Frekuensi di Persimpangan Jalan



Keterangan gambar: Tangkapan layar, tepatnya pada durasi waktu 2 menit 19 detik dalam film Frekuensi di Persimpangan Jalan. 

Review Film
, Bagi generasi 80-an, radio merupakan barang elektronik yang cukup lekat dalam ingatan. Bagaimana tidak? Radio saat itu masih menjadi satu-satunya sumber hiburan rakyat yang siap diputar pada masyarakat pedesaan. Beberapa hiburan merakyat dalam bentuk audio ini diantaranya drama seri Sauh Sepuh yang diputar sore hari. Momen berkumpul perempuan bersama para tetangga saat sore sembari ngobrol sana-sini. Dan pada malam harinya, gantian para bapak yang memangku otoritas radio secara penuh, yaitu mendengarkan hiburan wayang  dengan ditemani sruputan kopi hingga larut malam. Dan paginya radio cukup dekat dengan kegiatan anak-anak muda. Sembari aktivitas keseharian, mereka dengan asyik mendengarkan hiburan genre musik dangdut dan nasidaria. Dalam konteks sosiologis, radio dapat tampil menjadi ruang yang dapat digunakan memotret bagaimana interaksi sosial, proses sosial, komunikasi, negosiasi, dan sistem mataharian masyarakat. Dalam hal yang sama, radio dan masyarakat saling memberi dampak satu sama yang lain dalam bentuk tindakan sosial dan fakta sosial. Perihal radio dapat menjadi pintu masuk dalam mengidentifikasi citra indentitas sebuah kelompok sosial, telah tampak menjadi cikal bakal mengudaranya radio komunitas. 

Seiring dengan perkembangan waktu, saluran media massa satu arah ini makin beragam. Keberadaan jenis radio tidak hanya menjadi media massa satu arah saja, tetapi radio juga tampil merebut ruang menjadi media massa partisipatif. Hal ini dapat dilihat dengan munculnya radio komunitas, setelah lamanya radio publik dan radio swasta, dan radio berlangganan berkuasa. Dalam studi Jurriëns, E. (2014) yang berjudul  Radio Komunitas di Indonesia:‘New Brechtian Theatre’di Era Reformasi?, menegaskan bahwa sejak era reformasi, munculnya radio komunitas. Hal senada juga dilaporkan Lindsay (1997) dalam studinya yang berjudul Making Waves: Private Radio and local Identities in Indonesia, menegaskan bahwa sejak reformasi, dunia radio di Indonesia mengalami perubahan penting yaitu dari monopoli gelombang udara ke arah penyiaran yang menyiarkan aktivitas masyarakat lokal. 
  
Namun pada saat ini, radio komunitas dalam status ancaman kematian dipenyiarannya karena radio ini perlahan telah kehilangan keberadaannya di mata masyarakat (Sinaga, 2017). Nasib komunitas  penyiaraan independen ini tidak sama dengan tiga saudara lembaga penyiarannya lainnya yaitu lembaga penyiaran publik, swasta, dan penyiaran berlangganan. Sebelum terbitnya UU No. 32 tahun 2022, radio komunitas cukup tragis nasibnya karena sering disebut-sebut radio ilegal, radio gelap dan dituduh pencuri frekuensi Pemerintah.

Menjadi bagian dari lembaga penyiaran komunitas, prinsip dari Radio Komunitas adalah “dari, oleh, dan untuk komunitas.” Dengan landasan komunitas tersebut, dalam UU Penyiaran, radio komunitas dibebani fungsi untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat lokal dan dapat membantu meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat lokal. Hal ini juga sempat dipertanyaan Haryanto dalam bukunya yang berjudul Dinamika Radio Komunitas yang terbit tahun 2009, dimana peran radio komunitas cukup berat karena lembaga penyiaran ini diharapkan menjawab kebutuhan informasi spesifik dari masyarakat yang menjadi alternatif dari produksi informasi yang dihasilkan oleh media massa mainstream di Indonesia. Lantas bagaimana dengan radio komunitas yang ada pada film Frekuensi di Persimpangan Jalan? Pesan apa yang hendak disampaikan dalam film dokumenter ini? 

 
Identitas Film Dokumenter

Judul Film: Frekuensi di Persimpangan Jalan
Durasi Film: 17:13 menit
Tim Produksi

PRoduser: Hernowo Prasojo
Sutradara: Lia BUdi Cahyani
Ass. Sutradara: Nur Rohmah Istnaini
Penata kamera:  Aziz Kuriawan Budiman dkk
Reporter: Citra Agusta Putri dkk
Penulis Naskah: Lia BUdi Cahyani dkk
Koordinator Riset: Fahrizal Alhamdani
Tim survey: Yoanna Desiana dkk
Naskah: Angel Yes Yurun dan Arief Raman Hakim
Narator: Angel Yes Yurun
Koordinator penyunting gambar: Arief Rahman Hakim
Tim Penyunting gambar: Aziz Kuriawan
Penata Indo Grafis: Affandy Y. I
Penata Cahaya: Dalia Dyah Permata Sari dkk
Sound Recordist: Arief Rahman Hakim
Sekretatis & Unit Logistik: Reni Rahmawati dkk
Bendahara dan Konsumsi: Rizky Kuswiyanti
Musik: Pacoban Merapi dll

Film dokuemneter yang berjudul Frekuensi di Persimpangan Jalan merupakan karya audiovisual yang terpilih dalam program Akuisisi Pengetahuan Lokal 2022 yang diselenggarakan oleh Direktorat Repositori, Multimedia dan Penerbitan Ilmiah Badan Diret dan Inovasi Nasional. Film dokumenter ini ditayangkan kali kedua dalam channel youtube BRIN INdonesia pada  tanggal 28 Mar 2023. Kali pertama film dokumenter ini juga digelar dua tahun yang lalu pada channel youtube UNS TV dengan waktu tayang 26 Maret 2021.

Film dokumenter Frekuensi di Persimpangan Jalan ini menarik untuk dicermati. Frekuensi di Persipangan Jalan merupakan komunitas radio disekitar Gunung Merapi. Sejumlah 7 radio tergabung dalam radio komunitas. Fokus dari siaran kelompok sosial radio ini adalah mengudarakan gagasan dan kabar komunitas. Melalui udara aktivitas gunung merapi dikabarkan sekaligus memberi informasi kepada masyarakat untuk merespon kabar terkait merapi. Tujuan dari itu semua  agar masyarakat tidak terancam alias selamat dari ancaman alam. Tujuh radio saling terhubung dengan yang lain dalam mengabarkan gunung merapi. Tentu hal demikian menjadi sebuah gerakan produksi informasi berbasis masyarakat untuk masyarakat yang cukup membanggakan. 

Pada saat ini, hal yang menjadi kendala radio komunitas cenderung tersisih. Radio komunitas hanya dikasih 1 ,46 % 107,7, 107,8 dan 107,9 MHz. Alokasi frekuensi radio komunitas dipandang belum adil dibanding dengan frekuensi radion FM di INdonesia sejumlah 204 kanal, jelas tidak sebanding. Alokasi ideal untuk frekuensi untuk radio komunitas harusnya 20%. 

Selain itu, perihal perijinan untuk pendirian radio komunitas dipandang memberatkan, karena frekuensi radio ini bersifat non-profit. Pelengkapan berkas untuk perijinan radio komunitas di Kemeninfo dipandang memberatkan. Proses mengurus perijinan radio komunitas dengan radio profit selama ini sama, padahal pada hakekatnya dua kanal radio ini jauh beda.

Menimbang semangat dari UU Penyiaran adalah setiap masyarakat berhak memiliki frekuensi dan adanya kondisi lokalitas, sewajarnya radio komunitas dapat didorong tumbuh berkembang dalam memproduksi informasi untuk mengabarkan aktivitas alam dan sosial agar kehidupan masyarakat ini tidak terancam. 

Terlebih menilik konsep UNESCO mengenai partisipasi dan kesadaran diri, komunitas mempunyai peluang yang sama untuk menerima siaran. Partisipasi berarti bahwa pendengar secara aktif terlibat dalam management dan produksi. Komunitas secara keseluruhan bertanggung jawab atas kepemilikan, organisasi, managemen, pendanaan, independensi editorial dan kredibilitas, keterwakilan kelompok-kelompok dan kepentingan yang berbeda dalam komunitas, dan keberpihakan pada kelompok minoritas dan marjinal adalah fungsi utama utama radio komunitas (Fraser dan Estrada, 2001:16-17 dalam Jurriëns, E, 2014). 

Perhatian terhadap kelompok kecil termarginalisasi, dan menyiarkan acara interaktif. Radio komunitas adalah hak dan kewajiban masyarakat Indonesia, karena memungkinkan kelompok sosial untuk mengekspresikan diri tanpa ktergantungan (!) kepada pihak lain, dan juga berperan pada keberagamaan media Indonesia, yang tentunya akan berperan aktif dalam merawat jagat dan membangun peradaban.  

Rujukan Tulisan 

  • Film Dokumenter Frekuensi di Persimpangan Jalan (downlaod)
  • UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. (download)
  • Haryanto, I. (2009). Dinamika Radio Komunitas. (download)
  • Sinaga, C. N. A. (2017). Strategi Komunikasi Radio Komunitas Usukom FM dalam Mempertahankan Eksistensinya. Jurnal Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi, 1(1), 1-16. (download)
  • Jurriëns, E. (2014). Radio Komunitas di Indonesia:‘New Brechtian Theatre’di Era Reformasi?. Antropologi Indonesia. (download)
  • Lindsay, J. (1997). Making waves: Private radio and local identities in Indonesia. Indonesia, (64), 105-123. (download)

Penulis adalah Suhadi, guru sosiologi SMA Negeri 1 Pamotan Rembang Jawa Tengah

0 Response to "Review Film Dokumenter Frekuensi di Persimpangan Jalan"

Posting Komentar

Iklan Bawah Artikel