-->

TAHUN AJARAN BARU DAN PEMBELAJARAN NILAI BARU




"Mari jadikan tahun ajaran baru sebagai tahun penanaman nilai baru yang positif untuk anak-anak kita generasi penerus Indonesia."

www.mgmpsosiologijateng.com - OPINI. Tahun pelajaran 2020/2021 telah ditetapkan yakni pada tanggal 13 Juli 2020, meskipun proses pembelajaran belum ditetapkan apakah akan tatap muka dengan kebiasaan baru yakni mengikuti protokal kesehatan ataukah akan ditetapkan dengan melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Orang tua yang memiliki anak di usia sekolah, sepertinya sudah cukup beradaptasi dengan keadaan sekarang yang mengharuskan pembelajaran dilaksanakan di rumah aja dengan  memanfaatkan pembelajaran secara daring, guna mengurangi dan menghambat penyebaran virus corona atau covid-19.

Lagi-lagi tahun ajaran baru selalu menjadi hal yang cukup menegangkan untuk semua orang tua yang memilliki anak usia sekolah, ketegangan dimulai dari anak dinyatakan lulus selanjutnya orang tua turut merasakan kegelisahan memikirkan di sekolah mana anaknya akan melanjutkan pendidikan. Kekhawatiran orang tua tentang sekolah mana yang bisa menerima anaknya, atau apakah sekolah incaran sang buah hati bisa ditembus membuat orang tua melakukan berbagai macam cara untuk dapat memenuhi persyaratan pendaftaran peserta didik baru di sekolah yang dituju.

Ingat di masa pendaftaran siswa baru di tahun ajaran 2018/2019? Pada tahun tersebut sistem zonasi sudah mulai diberlakukan, sistem zonasi adalah sebuah sistem pengaturan proses penerimaan siswa baru sesuai dengan wilayah tempat tinggal, sistem ini diatur dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 dengan harapan mengubah anggapan sekolah favorit dan non favorit (www.wikipedia.org). Pada tahun 2018 pula masalah baru muncul di proses pendaftaran peserta didik baru di satuan pendidikan yakni tingginya angka penggunaan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu).

Di tahun 2018 pemegang SKTM menjadi calon peserta didik sakti. Ketika calon peserta didik memiliki SKTM otomatis dia akan mendapatkan previlies yakni “posisi aman”. Berbondong-bondong peminat SKTM meningkat, sekolah dipenuhi dengan orang tua yang menyusulkan SKTM demi sang anak bisa mendapatkan “posisi aman”. Melonjaknya pemegang SKTM mencapai jumlah yang sangat fantastis, yakni 78.065 SKTM dan oleh karena itu,  Gubernur Ganjar Pranowo mencoret 78.065 SKTM (https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/103561/sanksi-tegas-untuk-pemalsu-sktm).

Bagaimana di tahun 2020?? Bukan lagi SKTM, kali ini SKD menjadi incaran orang tua untuk bisa disulap guna memfasilitasi anak bisa masuk di sekolah yang dituju. Melihat ada banyaknya SKD yang tidak sesuai dengan keadaan si empunya, akhirnya seperti dikutip dari www.tribunnewsmaker.com tanggal 25 Juni sebanyak 1.007 pendaftar yang menggunakan SKD di jawa tengah mencabut berkasnya. Hal ini disebabkan karena penegasan dari Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang akan menyeret pemalsu surat Keterangan Domisili (SKD) ke ranah hukum pada saat proses PPDB Jateng 2020.

Miris memang ketika mengetahui bahwa pemegang SKTM adalah mereka yang berasal dari keluarga yang mampu, hanya karena mereka menginginkan anaknya bisa diterima mereka memiskinkan diri mereka sendiri, dan orang tua yang rela membuat SKD demi sang anak dapat bersekolah di sekolah pilihan.

Menjadi orang tua memang selalu berkeinginan untuk memberikan yang terbaik untuk sang anak, apapun orang tua lakukan untuk dapat melakukan hal tersebut. Mungkin Ketika orang tua tengah melakukan berbagai macam cara untuk memenuhi kebutuhan dan atau keinginan sang anak, orang tua melupakan hal penting bahwa mereka tidak mengindahkan tentang nilai dari tindakan yang dilakukan, dan sebetulnya nilai inilah yang telah orang tua pertunjukan kepada sang anak, bahwa demi memenuhi kebutuhan sang anak orang tua diperbolehkan melakukan apapun meski sebetulnya itu adalah hal yang salah.

Secara sosiologis (2012:163) nilai adalah konsepsi abstrak dalam diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Artinya setiap manusia memiliki konsep nilai yang relatif, menurut kita baik dan belum tentu baik menurut lainnya. Nilai adalah pegangan dasar yang harus diajarkan oleh orang tua pada anaknya, agar anaknya mengerti dan memahami nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Nilai ini disampaikan melalui proses sosialisasi yang dilakukan oleh orang tua baik secara langsung maupun tidak langsung, dan melalui proses inilah anak-anak merekam dan menanam apa yang mereka lihat dari orang tuanya kedalam diri mereka dan mungkin akan mereka lakukan ketika mereka menjadi orang tua kelak.

Bagaimana penanaman nilai pada anak, dalam sosiologi dijelaskan bahwa proses penanaman nilai sosial dilakukan melalui proses sosialisasi. Apa itu proses sosialisasi?? Dalam sosiologi sosialisasi adalah proses belajar (learning proses), melalui proses sosialisasi inilah individu-individu masyarakat belajar mengetahui dan memahami tingkah pekerti-tingkah pekerti apakah yang harus dilakukan, dan tingkah-tingkah pekerti-tingkah pekerti yang tidak harus dilakukan terhadap dan berhadapan dengan orang lain, ketika berhadapan dengan dia, atau dengan orang ketiga dalam masyarakat. Secara ringkas melalui proses sosialisasi ini warga masyarakat akan saling mengetahui peranannya masing-masing dan karenanya kemudian dapat bertingkah sesuai dengan peranan sosial masing-masing itu, tepat sebagaimana diharapkan oleh norma-norma sosial yang ada (J.Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, 2004:74). Melalui proses sosialisasi inilah nilai-nilai dan norma-norma sosial tersebut akan diteruskan dan diwariskan dari generasi ke generasi dengan atau tanpa perubahan.

Kembali ke SKD, keinginan orang tua yang luar biasa untuk memenuhi kebutuhan anaknya dalam hal ini adalah kebutuhan sekolah membuat mereka melakukan tindakan pembuatan SKD abal-abal ini, yang sebenarnya tanpa orang tua sadari, meraka sedang menanamkan nilai sosial kepada anak. Tanpa orang tua sadari sedang memberikan racun nilai yang salah pada anak, bahwa orang tua diperbolehkan melakukan apapun untuk memenuhi keinginan anak, dan ini sangatlah berbahaya.

Bagaimana tidak, tindakan yang dilakukan oleh orang tua hari ini, pasti akan dilakukan oleh anak mereka kelak pada saat mereka menjadi orang tua dengan dalih menyayangi anak, mereka akan melakukan hal yang sama yang orang tua mereka lakukan untuk mereka pada saat mereka kecil. Artinya kita melahirkan anak-anak yang tidak malu melakukan hal yang salah demi mencapai tujuan, dan mengahalalkan segala cara untuk menempuh tujuan yang kita inginkan.

Mengapa demikian? Karena nilai-nilai, norma-norma, dan pola tingkah pekerti yang disosialisasikan secara langsung lewat proses pendidikan dan pengajaran dengan menggunakan simbol-simbol arbitrair ataupun yang disosialisasikan saecara tidak langsung lewat perwujudannya yang konkret di dalam bentuk-bentuk interaksi kelompok. Kesemuanya diterima dan diperhatikan oleh individu yang tegah terbentuk kepribadiannya, dan kemudian diinternalisasikan kedalam mentalnya dan inilah kepribadian (2012:88).

Ingatkah dulu ketika anak-anak kita memasuki dunia pendidikan formal dari tingkatan yang paling dasar yakni SD (sekolah dasar) bukankah kita menanamkan nilai yang baik mulai dari kita tidak boleh nakal pada teman, kita harus membantu teman, kita harus menghormati guru dan banyak nilai-nilai lain yang orang tua ajarkan ke anaknya. Semakin tinggi level pendidikanya seharusnya penanaman nilai yang baik tersebut harus tetap dilakukan disesuaikan dengan usia anak-anak kita dengan daya penalaran yang mulai bertambah, seperti kita harus menerima apabila nilai ujian nasional jelek berarti tidak bisa masuk sekolah unggulan, dan lainnya.

Bukankah lebih elok ketika orang tua bersama-sama anak memahami keadaaan, menyampaikan pandangan bahwa terkadang kita tidak harus memiliki apa yang kita inginkan, atau bahwa sebetulnya kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan ditempat yang lain bukan ditempat yang dia ingiinkan. Agar anak memahami bahwa, ketika orang tua melakukan segala cara hanya untuk memuluskan keinginan sang anak, justru malah orang tua menyesatkan anak tanpa mereka sadari. Dari hal tersebuat anak memahami bahwa untuk menyayangi kita tidak diperbenarkan untuk menghalalkan segala cara demi orang yang kita sayangi dan kita harus tetap menjaga kejujuran dalam keadaan apapun. Apabila hal ini disadari oleh orang tua mungkin kasus SKTM di tahun 2018 tidak akan terjadi, dan ditahun 2020 tidak ada orang tua yang membuat SKD abal-abal itu artinya bersiap mendapatkan generasi penerus yang memiliki karakter hebat yang bisa menerima keadaan yang ada, yang memahami bahwa menyayangi haarus dilakukan dengan cara yang baik. Dan orang tua telah mengajarkan nilai tanggung jwab sejak dini pada anak, setelahnya akan lahir generasi Indonesia yang malu dalam melakukan kesalahan, dan malu sengaja melakukan kesalahan hanya untuk mencapai tujuan. Mari jadikan tahun ajaran baru sebagai tahun penanaman nilai baru yang positif untuk anak-anak kita generasi penerus Indonesia.

Penulis: Twenty Ages Twijayanti,S.Pd (Guru Sosiologi di SMA Negeri 1 Balapulang, Kab. Tegal)








0 Response to "TAHUN AJARAN BARU DAN PEMBELAJARAN NILAI BARU"

Posting Komentar

Iklan Bawah Artikel