-->

Pendidikan Multikultural, Tugas Siapa?


Bertukar cerita tentang pengalaman Bullying

www.mgmpsosiologijateng.com - ARTIKEL, Ada banyak cara semesta menyadarkan kita, setelah terjadi longsor misalnya, kita jadi tahu ternyata kurikulum kebencanaan sangat penting. Dan pada kenyataannya belum semua jenjang pendidikan menerapkan kurikulum kebencanaan, walaupun daerah tersebut ada di peta bencana. Contoh lain, setelah dia pergi, baru kita sadar betapa kehadiran dia sangat penting dan kita telah menelantarkannya. Hmmmmm, memang penyesalan selalu ada di akhir, kalo di awal namanya pendahuluan, atau pendaftaran.

Publik kaget, mengapa generasi muda terlibat aksi terorisme, terpapar radikalisme. Sebagai guru, saya lebih kaget lagi, sangat kaget, kenapa pemangku kebijakan lupa bahwa sebagai negara yang majemuk, perlu ditanamkan pemahaman pendidikan multikultural sejak dini. Dan seharusnya ini bukan wacana di tingkat pusat, tetapi perlu diimplementasikan sampai ke bangku sekolah. Sekolah adalah tempat sosialisasi strategis dalam menerima segala bentuk latar belakang budaya, setelah sebelumnya, pasar atau bidang ekonomi. Jelasnya ekonomi menjadi arena bertemunya individu atau kelompok dari berbagai suku, agama, ras dan lainnya. Anda tidak akan menanyakan apa agama penjual sembako di pasar tradisional, yang penting dari rumah tujuannya membeli beras, gula, dan minyak goreng, selesai, semudah itu. Almarhum Gus Dur lebih to the point menyadarkan kita bahwa: 

“Tidak penting apa pun Agama dan Sukumu... Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, maka orang tidak pernah tanya apa Agamamu..”  (Lahul Fatihah.....).

Pendidikan multikultural adalah sebuah ide, pendekatan untuk perbaikan sekolah dan gerakan kesetaraan, keadilan sosial dan demokrasi. Para ahli pendidikan multikultural menekankan komponen dan kelompok budaya yang beragam, tetapi mereka memiliki konsensus berupa penghargaan pada prinsip-prinsip utama, konsep-konsep dan tujuan. Tujuan utama pendidikan multikultural adalah untuk merestrukturisasi sekolah sehingga semua siswa memperoleh pengetahuan, sikap dan keahlian yang dibutuhkan dalam memfungsikan bangsa dan dunia yang secara etnis dan ras berbeda-beda. Pendidikan multikultural menginginkan jaminan kesetaraan pendidikan bagi anggota ras yang berbeda, etnis, budaya dan kelompok sosial-ekonomi dan untuk memfasilitasi partisipasi mereka sebagai warga negara yang kritis dan reflektif dalam sebuah budaya nasional kebangsaan yang inklusif (Zamroni, 2008: 292).

Kondisinya sekarang, penerapan pendidikan multikultural tidak dapat terjadi di sekolah yang komposisi sosial budayanya cenderung homogen. Di Provinsi Jawa Tengah saja, tidak semua sekolah di perkotaan yang beruntung siswanya mengenal berbagai macam latar belakang budaya. Bisa jadi, dengan tidak menyalahkan sistem zonasi, sekolah tertentu hanya memiliki homogenisasi siswa dari satu suku dan agama, sehingga konsep pendidikan multikultural sebatas diajarkan buku-buku pelajaran, dan itu pun hanya dari mata pelajaran sosiologi saja. Siswa di kota lebih beragam, lebih heterogen, mereka bahkan sudah sejak bangku sekolah dasar terbiasa berteman dengan berbagai latar belakang budaya. Sekolah menjadi media sosialisasi penting dalam menerapkan pemahaman bahwa sesuatu yang berbeda tidak perlu dipaksa untuk sama. Justru karena perbedaan, mereka akan didewasakan dan terbiasa berpikir kritis dalam proses interaksi sosial.

Kala Jawa, Arab, Tionghoa Jalan-jalan = Interseksi Sosial
(Dokumen Pribadi)

Struktur kultural masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia pendidikan untuk mengolah perbedaan sosial budaya menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan. Guru Sosiologi dengan tubuh kurikulumnya dibebani tanggung jawab yang luar biasa strategis dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural. Kolaborasi pembelajaran dapat dilakukan oleh guru sebagai jalan membuka literasi sosial antar siswa, antar sekolah, antar kabupaten/ kota, bahkan antar provinsi. Globalisasi memberikan kemudahan komunikasi berupa meeting virtual dengan zoom, google meet dan lain sebagainya. MGMP Sosiologi Provinsi Jawa Tengah siap merawat keberagaman dengan membuka seluas-luasnya join activity berupa program-program yang mengedepankan toleransi, kearifan lokal serta upaya-upaya untuk menyelamatkan generasi muda dari paparan faham yang merusak eksistensi dan jati diri bangsa sebagai negara majemuk.

Eh pelaku teror itu tau ga nikmatnya beli skin care dari hasil jualan batik???

Salam Literasi.

Penulis adalah Luluk Wulandari, Ketua MGMP Sosiologi Jateng


0 Response to "Pendidikan Multikultural, Tugas Siapa?"

Posting Komentar

Iklan Bawah Artikel